Rabu, 20 Oktober 2010

"Pelacur Tua dan Sepatu Tebalnya"

oleh : DONNY

ENTAH siapa yang mencetuskan ide ini. Ketika persiapan penerbitan Tabloid Anak Tualang, untuk edisi entah keberapa, aku pun lupa, tapi sekitar tahun 1995, kami para redaktur yang juga jurnalisnya mendapat tugas peliputan tentang Pelacur Anak di Kota Medan. 

Aku dan temanku Ali, yang harus menyelesaikan tugas itu, mencari seorang anak yang telah menjadi pelacur (melacurkan diri atau dilacurkan), atau minimal jadi wanita penghibur.

Jantung berdebar kencang, nafas tertahan, suasana rapat redaksi menjadi hal yang menakutkan, sebab bagaimana seorang anak seperti kami yang berusia 16 tahun dapat mewawancarai seorang anak yang pelacur? Apakah harus ikut tidur dengannya? Atau mengajak dia makan di suatu tempat sambil bercakap-cakap? Tetapi persoalannya, dimanakah terdapat anak pelacur itu?

Pencetus yang juga pendamping kami tidak mau tahu, yang penting bahan itu harus ada. Tualang harus terbit bulan itu juga, jadi kami harus terjun ke lapangan, mencari si pelacur dan kalau bisa mengajak kencan pelacur itu. Berapa pun biaya yang diminta sang pelacur, tak menjadi persoalan. tetapi soal biaya, pencetus pun tidak mau tahu.

Aku dan Ali, mulai bergerilya. Lokasi yang menjadi sasaran kami adalah tempat lokalisasi pelacuran di Hotel P Jalan Pandu, bersebelahan dengan PDAM Tirtanadi, di malam minggu. Aku mengetahui tempat itu, dari cerita orang-orang di kedai kopi yang pernah menikmati desahan dan pelukan hangat pelacur di hotel itu. 

Aku pun pernah menyemir sepatu di tempat itu, ketika umurku 10 tahun, tetapi diusir oleh seorang pria berbadan tegap. "Anak-anak dilarang masuk," katanya.

Begitu tiba di lokasi, jantung rasanya berdegub. Aura maksiat begitu terasa. Kami memutuskan mengawasinya dari jauh, yakni dari gedung seberang, Bioskop Horas. 

Setelah lama kami mengamatinya, namun tidak seorang pelacur anak pun yang kami lihat. Tentu saja, tikus pun tak dapat kami lihat di Hotel P itu, karena kami hanya melihat dari sisi luarnya saja.

Malam itu kami putuskan tidak akan memasuki tempat prostitusi itu, meskipun kami tidak tahu, apakah ada atau tidak adanya pelacur anak itu. Dan akhirnya bahan tentang pelacuran anak tidak pernah kami selesaikan. 

Pencetus mengetahui hal itu, bahwa jurnalis profesional pun sangat jarang berhasil mewawancarai seorang pelacur, terutama si jurnalis harus menyiapkan kantong tebal.

Kayaknya pencetus sengaja mencoba, sejauh mana kemampuan investigasi dan penguasaan ilmu jurnalistik yang kami peroleh. Tugas meliput Pelacur Anak memang sangat sulit dibandingkan dengan tugas Investigasi Buruh Anak Jermal di tengah laut, yang pernah kami lakukan pada edisi perdana Tabloid Tualang tahun 1994.

Rasa penasaran itu terus membuat aku tertantang. Suatu hari, di tahun 1998, aku bersama 3 temanku, Zal (22 tahun), To (19), dan Tam (19), mendatangi Hotel P. Mulanya aku dan Tam, sedang membantu To, menutup kedai rokoknya di Jalan Pandu dekat nasi goreng, 150 meter dari Hotel P. Lalu datang Zal, yang tinggal di Jalan Halat, dan mengajak kami ke Hotel P, menemaninya.

Di tempat itu, kami duduk di sebuah kursi sofa, suasana ruangan begitu gelap, hanya terlihat samar-samar. Sesekali cahaya lampu kendaraan menembus dinding kaca hitam hotel itu. Zal terlihat memasuki sebuah kamar, lalu keluar lagi dan masuk ke kamar lainnya, keluar lagi dan masuk lagi, hingga dia menemukan kamar yang pas, yang tentu saja ada pelacurnya.

Aku yang duduk di kursi sofa, yang tidak empuk lagi, bau dan penuh lubang di mana-mana, menatap ke sekeliling. To dan Tam terlihat asyik menggoda seorang pelacur yang duduk di samping mereka. 

Pelacur itu, mengenakan baju You Can See (kensi) berwarna hitam hingga menampakkan belahan dadanya, memakai celana pendek krem sebatas bokongnya dan kedua dengkulnya dirapatkan ke dadanya, setengah berjongkok. Pahanya yang putih terlihat sampai ke sela-sela kelaminnya. 

Tangan kiri memegang rokok dan yang kanan memegang bidak catur, wajahnya tertunduk menatap papan catur. Lawan mainnya adalah seorang pelacur lain, yang berpenampilan sama.

Kedua temanku terus menggoda, si pelacur itu membalasnya dengan gerakkan-gerakkan genit. Tak jarang tangan mereka menyentuh kebagian yang tersimpan. Sesekali pertanyaan kedua temanku mereka jawab, terutama yang bersifat pribadi dan menjurus kotor. Melihat mereka asyik berbicara, naluri jurnalisku muncul, aku mencoba berbicara dan memberikan pertanyaan ke kedua pelacur itu.

Ternyata mereka meresponnya. Aku bertanya dimulai dari nama, umur, tempat tinggal hingga tarif satu kali tidur dengan mereka, yang semua mereka jawab dengan lancar dan suara yang pelan. Dalam hati aku berpikir, kok Rp 15.000, murah sekali, yang paling mahal saja Rp 25.000, padahal usia mereka sekitar 20-an. 

Bahkan, kedua pelacur itu mengaku sudah 2 bulan menginap di hotel itu. Mereka merantau dari sebuah kampung di daerah Tapanuli Utara dan di hotel itu mereka sekalian bekerja, sebagai pelacur.

Tak lama Zal keluar dari kamar, wajahnya berseri, tersenyum dan bergabung dengan kami. Temanku To dan Tam, terus menggoda pelacur itu, hingga saling merendahkan satu sama lain. Ketika kami meninggalkan tempat itu, Tam mengambil sebelah sepatu bertapak tebal milik seorang pelacur dan membuangnya ke trotoar. 

Si pelacur yang tahu sepatunya dibuang, segera mengejar Tam, memukulinya dengan sepatu itu dan memaki-makinya. 

"Kurang ajar kau, ya! Aku ini sebaya dengan mamak kau. Anjeeeeng," umpat si pelacur, Tam dan To pun lari sambil mengejek.

Astaga, aku menjadi terbodoh, sebab setelah lampu jalan meneranginya, wajah asli si pelacur terlihat jelas. Ternyata si pelacur sudah tua, usianya sekitar 45-an. 

Pantas wajahnya menunduk terus di keremangan malam. Apa yang kutanyakan tadi, ternyata jawabannya bohong semua. Pantas saja Tam dan To, menjahili mereka. ***